Minggu, 16 Desember 2012

Satu Barisan Satu Impian by Ariel Maranoes

DESPOTIC


Akibat vakum yang berkepanjangan karena kesibukan masing-masing, akhirnya FRONTAL mengeluarkan mini album yang berjudul DESPOTIC. Berawal dari perbincangan di dagangan Dony yang hari itu sudah terlalu pagi dan juga terlalu malam untuk balita beraktifitas.
Akhirnya celetukan pun keluar, "eh Get, daripada FRONTAL ga ada kerjaan mending kita bikin mini album dari lagu-lagu kita yang sudah ada. Ibarat kata FRONTAL itu coli yang ga bucat-bucat liat panggung dan album dari orang lain." Sempat untuk beberapa bulan memikirkannya celetukan dari Dony, dan pada akhirnya gw berfikiran untuk membuat mini album tersebut dengan DIY. Dimulai dari semua lagu yang sudah ada dikumpulin, terus gw berinisiatif membuat Outro dengan beat/minus one yang dikasih secara cuma-cuma dari kawan lama yang berdomisil di Yogyakarta yaitu Amorfate MC. Lalu pembuatan design cover, nge-print cover, burning CD yang dibantu Arsa (Thunder Sanchez), lalu menjadikan mini album tersebut menjadi anak karya dari FRONTAL.
Outro yang berada di dalam mini album tersebut selain beat/minus one yang dikasih secara cuma-cuma oleh Amorfate MC, kita juga memadukan minus one tersebut dengan potongan film pendek Tan Malaka yang dibuat oleh mahasiswa perfilm-an IKJ.
Karena pada akhirnya, setiap band pasti menginginkan album tersendiri untuk dinikmati oleh khalayak banyak dan akan menjadi kepuasan tersendiri untuk band tersebut.

Selasa, 06 Maret 2012

Rabu, 06 Oktober 2010

Hip Hop Menjadi Dogma



Ketika saya lagi berbincang dengan teman atau sudah menjadi saudara saya sendiri disuatu pusat kota tempat kami tinggal, kami mulai membicarakan Hip Hop pada hari ini. Dan ternyata apa yang kami bicarakan kurang lebih satu jam lamanya, kami mulai berfikir tentang Hip Hop, yaitu Hip Hop sudah menjadi suatu Dogma.

Banyak orang mempersoalkan atau mendefinisikannya sendiri apa itu "Hip Hop". Dan juga ada yang bertanya Hip Hop itu apa sih?? yang hanya sekedar ingin adu otak tentang seberapa tahunya dia tentang Hip Hop itu sendiri. Ketika khalayak mempunyai definisi sendiri tentang Hip Hop itu, sama seperti halnya Afrika Bambaataa yang mengemukakan, "Hip Hop bermakna seluruh kultur gerakan". "Tak ada kebenaran didunia kecuali yang diberikan oleh engkau sendiri" -Friedrich Nietzsche-. Dan banyak juga pada zaman sekarang yang sedang mempertanyakan: 1. Lo di Hip Hop mw ngapain?? 2. Lo kalo di Hip Hop jangan setengah-setengah man 3. ngerap caranya gimana sih?? 4. Hip Hop itu apa?? 5. Lo barat, selatan, merah, biru, hitam, hijau atau putih?. Dan kadang orang mempertanyakan tujuan dan ciri khas suatu group Hip Hop tersebut. Terkadang saya berfikir Hip Hop itu adalah suatu dogma yang ketika kita meninggalkan Hip Hop itu sendiri kita akan "MURTAD". Berarti Hip Hop bisa disamakan dengan Agama. Hip Hop sudah dianggap memang sudah dari sananya. Beberapa orang yang saya lihat ketika ia sedang berbincang masalah tentang Hip Hop atau tentang apapun itu, ia langsung menelan mentah-mentah dan mencerna perkataan tersebut tanpa disaring. Persis seperti argumen konservatif yang berpikir bahwa yang ada didunia ini memang sudah begitu adanya dan tak terbantahkan lagi tanpa terlintas sedikitpun dalam benak untuk mengetahui bagaimana proses      tersebut lahir.

Dan juga banyak yang mempermasalahkan warna atau mempeributkan arah mata angin itu sendiri. Lalu kalau mau seperti layaknya orang barat sana, pergilah kesana atau hengkang dari negara kita yang selalu mengadopsi tentang musik ini. Ada yang membicarakan merah, biru, barat, selatan, positif dan negatif. Ach!! semuanya itu tak beralasan, hanya kultur luar yang kalian adopsikan. Dogma sebagai tumpuan, tumpuan sebagai sandaran yang kalian percayakan dan tidak terbantah lagi tentang kebenarannya.

Saya mulai berfikir untuk ini semua yang acap kali mempermasalahkan Mainstream ataupun Underground. Sebenarnya yang jadi permasalahannya Mainstream atau Underground itu sendiri jenis musik atau bukan?? Menurut saya Mainstream atau Underground itu sendiri buaknlah suatu aliran atau jenis musik, tetapi adanya keterjebakan Mainstream ke label yang dimana pola berfikir kita harus mengikuti pasar yang sedang laku sekarang oleh management mereka. Apakah mau ketika kita ingin berkreatifitas kita dibatasi oleh orang-orang Management tersebut? Dan disanalah muncul yang namanya pemberontakan atas terkekangnya pola berfikir itu sendiri (Underground). Dalam hal ini Hip Hop atau apapun itu, seharusnya membebaskan dari keterasingan, kebosanan, kejenuhan atau apapun itu, dan memberi suatu gairah tertentu pada mereka yang ingin hidup lebih dari sekedar hidup. Badan bisa dipaksa, tetapi otak tidak bisa untuk dipaksa.

Menurut saya Hip Hop itu dari dulu Universal dan selalu Personal, tidak perlu untuk dimanifestokan atau tidak perlu dijunjung tinggi layaknya kita menjunjung suatu agama yang kita anut. Sekalian saja kalau kita ingin menjunjung tinggi yang namanya Hip Hop itu sendiri, kenapa kita tidak Mempropagandakan Hiphopisme atau isme-isme yang lain kepada khalayak?? Dan menjadi seorang Chauvinis Nasionalis Patriotik                Hip  Hop!!

Tulisan ini tidak untuk didedikasikan kepada siapapun, tetapi sangat lelahnya ketika Hip Hop itu sendiri yang kita adopsi dari luar sana, kita mencoba memaksakannya untuk seperti layaknya mereka yang ada disana. Mungkin ideologi saya sendiri untuk Hip Hop hanya lah sebagai menjalin pertemanan, persaudaraan dan menyalurkan apa yang ada pada isi otak saya untuk bisa dibaca, atau didengar orang lain dan bukan untuk mencari keeksistensian yang terlalu "over" suatu grup Hip Hop atau sebagai Rapper, walaupun tidak dipungkiri juga bahwasannya keeksistensian itu menurut saya perlu.
”Hiphop bukan persoalan persetujuan khalayak, penerimaan massa atau izin kerumunan atas eksistensi kita. Hiphop adalah bagaimana kita berdiri ditengah lautan gerombolan, bersuara dan memberi tanda ditengah masyarakat atas eksistensi kita”  -KRS One-

Entah apa bualan yang saya tulis ini, mungkin Hip Hop sendiri seperti produk kultural lainnya yang selayaknya dibiarkan menjadi sebuah ide atau imajinasi yang terbuka. "Ia" harus tetap liar dan terbuka untuk kemungkinan apapun. Dalam hal ini kita pun bisa menemui hal yang terindah atau hal terburuk sekalipun. bagi saya "HIP HOP     MAH   KUMAHA  AING WE ANJING!!"

Tulisan ini bukan untuk mempermasalahkan apa yang sudah terjadi pada jenis musik Hip Hop pada hari ini, tetapi saya hanya ingin mengajak kawan-kawan untuk lebih memikirkan lagi ketika Hip Hop itu sendiri bisa dibilang sudah menjadi "Dogma". Kalau ada kata-kata yang salah atas pemahaman saya tentang ini, tolong dikoreksi atau dikomentari.


Kamis, 30 September 2010

“AMNESIA DARAH DAN NANAH SEJARAH SANG REVOLUSI”


Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Namanya tak pernah singgah di buku-buku sejarah di sekolah. Ia mungkin dianggap bukan siapa-siapa. Mungkin pula dinilai tak lebih sebagai pendosa. Kurikulum sejarah kita memang kerap terserang amnesia, walaupun sejarah itu ditulis dengan darah dan nanah. Para pemuda sekarang mungkin saja lupa atau melupakan seseorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora: Tan Malaka
Ibrahim Datuk Tan Malaka, ia dilahirkan di Sumatera Barat, Suliki. Ia dilahirkan diranah minang dan dibesarkan oleh orangtua yg bernama HM. Rasad (Ayah) dan Rangkayo Sinah (Ibu).
Lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
            Ada banyak kisah menarik tentang Bapak Republik yang dilupakan ini, salah satunya tentang Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada tanggal 19 Septembr 1945 (sekarang menjadi lapangan luas bagian pojok timur yang saat ini ditempati oleh kawasan Monas), yang dimana rakyat Indonesia berduyun-duyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan “kemerdekaan” mereka, Indonesia merdeka. Ditengah kerumunan ribuan masyarakat Indonesia pada saat itu dalam rangka untuk memperingati 1 (satu) bulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, khalayak ramai tidak mengetahui bahwa Tan Malaka berada dikerumunan itu. Menurut penelitian Harry Poeze seorang sejarawan dari Belanda yang menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti keberadaan Tan Malaka, ciri-ciri Tan Malaka pada waktu Rapat Raksasa itu, ia memakai baju kaus, celana pendek hitam, topi perkebunan. Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno.
 






Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian, telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
            Dibalik kemisteriusan Tan Malaka tersebut, ia memiliki beberapa banyak nama samaran ketika ia melanglang buana ke negeri orang yang dikarenakan tentara-tentara Jepang dan Belanda terus mengejar sosok “orang yang mahir dalam revolusi” (begitu Soekarno memberi julukan kepada Tan). Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajah dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Beberapa daftar nama samaran Tan adalah Elias Fuentes, Esthahislau Rivera, Alisio Rivera (Filipina), Hasan Gozali (Singapura), Ossorio (Shanghai), Ong Song Lee (Hongkong), Tan Ming Siong (Burma), Legas Husein, Ramli Husein, Ilyas Husein (Indonesia), Cheung Kun Tat, Howard Lee (Cina).
            Mungkin pembaca mendengar nama Tan Malaka langsung teringat pada ideologi sosialis (Marxisme dan Leninise). Ia memang seorang Komunis, yang dimana pemikiran kolot/kuno orang-orang, bahwa Komunis itu adalah atheis (tidak mempunyai agama). Tan Malaka penah menyatakan di bukunya yang berjudul Dari Penjara Ke Penjara Jilid II “Ketika menghadap dengan Tuhan saya seorang Muslim, tapi manakla saya berhadapan dengan manusia saya bukan Muslim”. Entah apa yang ada dibenak Tan pada waktu, dan siapa yang menyangka bahwa Ia rajin shalat dan juga hafal Al Quran.
Tan Malaka adalah seorang sosialis komunis, kita tidak dapat menafikkan hal ini. Tan Malaka sedari dulu sudah sadar akan bahaya kapitalisme. Kapitalisme lambat laun akan menjelma menjadi imprealisme. Toh, didalam buku-buku ekonomi kita sudah membaca, pada saat satu pasar sudah penuh sesak akan supply, maka otomatis mereka akan mencari demand-demand baru. Lihat saja apa yang disampaikan Tan Malaka pada saat di Yogyakarta, 7 November 1948, “ Negara yang hidup meminjam pasti akan menjadi hamba peminjam”. Jika kita kembalikan hal ini di jaman sekarang ini, pemikiran Tan Malaka sangatlah benar. Ketika krisis moneter melanda      Indonesia pada tahun 1997, seketika itu pula International Monetery Fund (IMF) menjulurkan pinjamanan kepada Indonesia untuk memperbaiki Moneter Indonesia yang kolaps. Setelah itu, bisa kita saksikan bangsa ini menjadi hamba IMF (kapitalisme).
Adanya Testamen Politik 1945 merupakan surat mandat dari pimpinan nasional kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas kenegaraan. Testamen juga sempat mengundang kontroversi karena beredarnya versi yang berbeda. Dalam versi yang beredar kemudian, nama ahli waris kepemimpinan itu hanya satu orang yaitu Tan Malaka. Surat itu berbunyi: “Kami, Ir Soekarno, ketua Republik Indonesia dan Drs Moh Hatta, ketua muda Pemerintah tersebut dengan suci dan ikhlas hati kami menyerahkan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sdr Datuk Tan Malaka, pemegang surat ini”. Hatta menyebut Chaeroel Saleh sebagai roh jahat di balik pemalsuan dokumen itu. Ia dasarkan keterangannya itu pada hasil pemeriksaan dinas penyelidikan sipil dan militer Belanda.
Menurut Sajoeti Melik, dokumen asli surat tersebut jatuh ke tangan DN Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno. Soekarno merobek-robeknya lalu membakarnya. Dengan demikian berakhirlah kontroversi tentang Testamen Politik Soekarno tersebut. Meskipun Testamen Politik Soekarno 1 Oktober 1945 merupakan surat tugas kenegaraan yang diberikan oleh pimpinan nasional, namun paling sedikit terdapat perbedaan (atau persamaan?) menyangkut dua hal. Dalam pembuatan Testamen Politik 1945 tidak ada paksaan. Bahkan penyusunannya dilakukan Soekarno secara demokratis dengan berkonsultasi dengan Bung Hatta. Testamen Politik 1945 telah dibakar oleh sendiri oleh Bung Karno agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Namun yang pasti, Tan Malaka si Putra Pandan Gadang nan fenomenal itu, pernah "dipercaya" sebagai putra mahkota bila suatu saat kelak pada masa itu, sang "raja dan wakilnya" tercederai. Hal ini setidaknya memberikan kepada kita, begitu signifikannya posisi hitoris Tan Malaka pada awal kemerdekaan Indonesia. Sayang, sejarah terkadang terasa "asin".
Begitu besarnya pengaruh Tan Malaka terhadap Indonesia ini selain Soekarno, Muhammad Hatta dan Sutah Sjahrir. Namun, sangat disayangkan sekali Ia meninggal dinegeri dan ditangan bangsanya sendiri. Tan Malaka meninggal diujung senapan TNI, ia dieksekusi di desa Selopanggung Kediri, dibawah perintah Letda Soekotjo dan kemudian ditetapkan oleh Soekarno sebagai pahlawan perintis kemerdekaan. Dan Tan Malaka juga diberi gelar Pahlawan Nasional, namun Pahlawan Nasional ini pernah dicekal pada masa Orde Baru, sehingga Tan Malaka tidak dimasukkan lagi kedalam daftar nama Pahlawan Indonesia. Padahal gelar Pahlawan Nasionalnya tidak pernah dicabut.  Hanya karena Ia (Tan Malaka) beraliran komunis, pemerintah Orde Baru menghilangkan Ia dalam album Pahlawan Nasional. Didalam bukunya, Dari Penjara Ke Penjara Jilid II, 1948 ia mengatakan dengan lantang “Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.
“Selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan putch atau anarchisme hanyalah impian seorang yang lgi demam”.
( Tan Malaka, Aksi Massa, 1926)
  
disadur dari beberapa referensi buku dan tentang Tan Malaka