Kamis, 30 September 2010

“AMNESIA DARAH DAN NANAH SEJARAH SANG REVOLUSI”


Hatinya terlalu teguh untuk berkompromi. Maka ia diburu polisi rahasia Belanda, Inggris, Amerika, dan Jepang di 11 negara demi cita-cita utama: kemerdekaan Indonesia.
Ia, Tan Malaka, orang pertama yang menulis konsep Republik Indonesia. Muhammad Yamin menjulukinya ”Bapak Republik Indonesia”. Soekarno menyebutnya ”seorang yang mahir dalam revolusi”. Tapi hidupnya berakhir tragis di ujung senapan tentara republik yang didirikannya.
Namanya tak pernah singgah di buku-buku sejarah di sekolah. Ia mungkin dianggap bukan siapa-siapa. Mungkin pula dinilai tak lebih sebagai pendosa. Kurikulum sejarah kita memang kerap terserang amnesia, walaupun sejarah itu ditulis dengan darah dan nanah. Para pemuda sekarang mungkin saja lupa atau melupakan seseorang yang telah melukis revolusi Indonesia dengan bergelora: Tan Malaka
Ibrahim Datuk Tan Malaka, ia dilahirkan di Sumatera Barat, Suliki. Ia dilahirkan diranah minang dan dibesarkan oleh orangtua yg bernama HM. Rasad (Ayah) dan Rangkayo Sinah (Ibu).
Lelaki kelahiran Pandan Gadang, Suliki, Sumatera Barat, 2 Juni 1897 ini merupakan tokoh pertama yang menggagas secara tertulis konsep Republik Indonesia. Ia menulis Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) pada 1925, jauh lebih dulu dibanding Mohammad Hatta, yang menulis Indonesia Vrije (Indonesia Merdeka) sebagai pleidoi di depan pengadilan Belanda di Den Haag (1928), dan Bung Karno, yang menulis Menuju Indonesia Merdeka (1933).
            Ada banyak kisah menarik tentang Bapak Republik yang dilupakan ini, salah satunya tentang Rapat Raksasa di Lapangan Ikada pada tanggal 19 Septembr 1945 (sekarang menjadi lapangan luas bagian pojok timur yang saat ini ditempati oleh kawasan Monas), yang dimana rakyat Indonesia berduyun-duyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan “kemerdekaan” mereka, Indonesia merdeka. Ditengah kerumunan ribuan masyarakat Indonesia pada saat itu dalam rangka untuk memperingati 1 (satu) bulan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, khalayak ramai tidak mengetahui bahwa Tan Malaka berada dikerumunan itu. Menurut penelitian Harry Poeze seorang sejarawan dari Belanda yang menghabiskan separuh hidupnya untuk meneliti keberadaan Tan Malaka, ciri-ciri Tan Malaka pada waktu Rapat Raksasa itu, ia memakai baju kaus, celana pendek hitam, topi perkebunan. Tinggi Tan ternyata 165 sentimeter, lebih pendek daripada Soekarno (172 sentimeter). Dari ciri-ciri itu, Poeze menemukan foto Tan yang berjalan berdampingan dengan Soekarno.
 






Buku Naar de Republiek dan Massa Actie (1926) yang ditulis dari tanah pelarian, telah menginspirasi tokoh-tokoh pergerakan di Indonesia. Tokoh pemuda radikal Sayuti Melik, misalnya, mengenang bagaimana Bung Karno dan Ir Anwari membawa dan mencoret-coret hal penting dari Massa Actie. Waktu itu Bung Karno memimpin Klub Debat Bandung. Salah satu tuduhan yang memberatkan Soekarno ketika diadili di Landrat Bandung pada 1931 juga lantaran menyimpan buku terlarang ini. Tak aneh jika isi buku itu menjadi ilham dan dikutip Bung Karno dalam pleidoinya, Indonesia Menggugat.

W.R. Supratman pun telah membaca habis Massa Actie. Ia memasukkan kalimat ”Indonesia tanah tumpah darahku” ke dalam lagu Indonesia Raya setelah diilhami bagian akhir dari Massa Actie, pada bab bertajuk ”Khayal Seorang Revolusioner”. Di situ Tan antara lain menulis, ”Di muka barisan laskar, itulah tempatmu berdiri.... Kewajiban seorang yang tahu kewajiban putra tumpah darahnya.”
            Dibalik kemisteriusan Tan Malaka tersebut, ia memiliki beberapa banyak nama samaran ketika ia melanglang buana ke negeri orang yang dikarenakan tentara-tentara Jepang dan Belanda terus mengejar sosok “orang yang mahir dalam revolusi” (begitu Soekarno memberi julukan kepada Tan). Ia memiliki 23 nama palsu dan telah menjelajah dua benua dengan total perjalanan sepanjang 89 ribu kilometer dua kali jarak yang ditempuh Che Guevara di Amerika Latin. Beberapa daftar nama samaran Tan adalah Elias Fuentes, Esthahislau Rivera, Alisio Rivera (Filipina), Hasan Gozali (Singapura), Ossorio (Shanghai), Ong Song Lee (Hongkong), Tan Ming Siong (Burma), Legas Husein, Ramli Husein, Ilyas Husein (Indonesia), Cheung Kun Tat, Howard Lee (Cina).
            Mungkin pembaca mendengar nama Tan Malaka langsung teringat pada ideologi sosialis (Marxisme dan Leninise). Ia memang seorang Komunis, yang dimana pemikiran kolot/kuno orang-orang, bahwa Komunis itu adalah atheis (tidak mempunyai agama). Tan Malaka penah menyatakan di bukunya yang berjudul Dari Penjara Ke Penjara Jilid II “Ketika menghadap dengan Tuhan saya seorang Muslim, tapi manakla saya berhadapan dengan manusia saya bukan Muslim”. Entah apa yang ada dibenak Tan pada waktu, dan siapa yang menyangka bahwa Ia rajin shalat dan juga hafal Al Quran.
Tan Malaka adalah seorang sosialis komunis, kita tidak dapat menafikkan hal ini. Tan Malaka sedari dulu sudah sadar akan bahaya kapitalisme. Kapitalisme lambat laun akan menjelma menjadi imprealisme. Toh, didalam buku-buku ekonomi kita sudah membaca, pada saat satu pasar sudah penuh sesak akan supply, maka otomatis mereka akan mencari demand-demand baru. Lihat saja apa yang disampaikan Tan Malaka pada saat di Yogyakarta, 7 November 1948, “ Negara yang hidup meminjam pasti akan menjadi hamba peminjam”. Jika kita kembalikan hal ini di jaman sekarang ini, pemikiran Tan Malaka sangatlah benar. Ketika krisis moneter melanda      Indonesia pada tahun 1997, seketika itu pula International Monetery Fund (IMF) menjulurkan pinjamanan kepada Indonesia untuk memperbaiki Moneter Indonesia yang kolaps. Setelah itu, bisa kita saksikan bangsa ini menjadi hamba IMF (kapitalisme).
Adanya Testamen Politik 1945 merupakan surat mandat dari pimpinan nasional kepada orang lain untuk menyelesaikan tugas kenegaraan. Testamen juga sempat mengundang kontroversi karena beredarnya versi yang berbeda. Dalam versi yang beredar kemudian, nama ahli waris kepemimpinan itu hanya satu orang yaitu Tan Malaka. Surat itu berbunyi: “Kami, Ir Soekarno, ketua Republik Indonesia dan Drs Moh Hatta, ketua muda Pemerintah tersebut dengan suci dan ikhlas hati kami menyerahkan pimpinan Pemerintah Republik Indonesia kepada Sdr Datuk Tan Malaka, pemegang surat ini”. Hatta menyebut Chaeroel Saleh sebagai roh jahat di balik pemalsuan dokumen itu. Ia dasarkan keterangannya itu pada hasil pemeriksaan dinas penyelidikan sipil dan militer Belanda.
Menurut Sajoeti Melik, dokumen asli surat tersebut jatuh ke tangan DN Aidit. Aidit menunjukkannya kepada Soekarno. Soekarno merobek-robeknya lalu membakarnya. Dengan demikian berakhirlah kontroversi tentang Testamen Politik Soekarno tersebut. Meskipun Testamen Politik Soekarno 1 Oktober 1945 merupakan surat tugas kenegaraan yang diberikan oleh pimpinan nasional, namun paling sedikit terdapat perbedaan (atau persamaan?) menyangkut dua hal. Dalam pembuatan Testamen Politik 1945 tidak ada paksaan. Bahkan penyusunannya dilakukan Soekarno secara demokratis dengan berkonsultasi dengan Bung Hatta. Testamen Politik 1945 telah dibakar oleh sendiri oleh Bung Karno agar tidak menimbulkan kontroversi di kemudian hari. Namun yang pasti, Tan Malaka si Putra Pandan Gadang nan fenomenal itu, pernah "dipercaya" sebagai putra mahkota bila suatu saat kelak pada masa itu, sang "raja dan wakilnya" tercederai. Hal ini setidaknya memberikan kepada kita, begitu signifikannya posisi hitoris Tan Malaka pada awal kemerdekaan Indonesia. Sayang, sejarah terkadang terasa "asin".
Begitu besarnya pengaruh Tan Malaka terhadap Indonesia ini selain Soekarno, Muhammad Hatta dan Sutah Sjahrir. Namun, sangat disayangkan sekali Ia meninggal dinegeri dan ditangan bangsanya sendiri. Tan Malaka meninggal diujung senapan TNI, ia dieksekusi di desa Selopanggung Kediri, dibawah perintah Letda Soekotjo dan kemudian ditetapkan oleh Soekarno sebagai pahlawan perintis kemerdekaan. Dan Tan Malaka juga diberi gelar Pahlawan Nasional, namun Pahlawan Nasional ini pernah dicekal pada masa Orde Baru, sehingga Tan Malaka tidak dimasukkan lagi kedalam daftar nama Pahlawan Indonesia. Padahal gelar Pahlawan Nasionalnya tidak pernah dicabut.  Hanya karena Ia (Tan Malaka) beraliran komunis, pemerintah Orde Baru menghilangkan Ia dalam album Pahlawan Nasional. Didalam bukunya, Dari Penjara Ke Penjara Jilid II, 1948 ia mengatakan dengan lantang “Ingatlah bahwa dari dalam kubur suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi”.
“Selama orang percaya bahwa kemerdekaan akan tercapai dengan jalan putch atau anarchisme hanyalah impian seorang yang lgi demam”.
( Tan Malaka, Aksi Massa, 1926)
  
disadur dari beberapa referensi buku dan tentang Tan Malaka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar